Pada hari jum’at, 18 November 1667, tercapailah suatu perjanjian perdamaian antara pihak Belanda dan pihak Kerajaan Gowa-Tallo di suatu tempat dekat Barombong yang dinamakan Bungaya.
Perjanjian yang disepakati dinamakan
Cappaya ri Bongaya, orang-orang Belanda menamakannya Het Bongaisch Verdrag.
Perjanjian Bongaya menjadi akhir
dari peperangan besar antara Kerajan Gowa-Tallo dan Belanda, namun setelah
penandatanganan perjanjian itu, banyak diantara tokoh kerajaan Gowa-Tallo yang menolak
untuk tunduk, salah satu diantaranya adalah mangkubumi kerajaan Gowa-Tallo
sendiri, Karaeng Karunrung.
Barulah pada tanggal 27 Juni 1669,
setelah ditandatangani perjanjian baru, perlawanan-perlawanan terhadap Belanda
mulai hilang, dalam perjanjian tersebut karaeng Karunrung juga ikut serta
membubuhi tanda tangannya.
Hilangnya perlawanan terhadap
Belanda di Makassar tidak berarti bahwa pejuang Makassar tidak bersemangat lagi
melakukan perlawanan. Ratusan armada berangkat dari Galesong menuju Jawa untuk
meneruskan perlawanan terhadap Belanda.
Salah satu armada besar yang
bertolak ke Banten adalah Laskar Makassar yang dipimpin oleh Karaeng Bonto
Marannu, iapernah berkuasa di Buton, walaupun akhirnya tidak berhasil
mempertahankan daerah ini.
Para Perantau Keberangkatan Karaeng
Bonto Marannu dengan tujuan Banten adalah usaha untuk melanjutkan perlawanan
terhadap Belanda yang dinilai serakah.
Saat itu Banten merupakan sasaran
kedua Belanda setelah menguasai Makassar. Banten yang bertetangga dengan
Batavia, pusat pemerintahan Kompeni di Nusantara, dianggap sebagai tetangga
yang mengancam keamanan dan harus ditaklukkan.
Selain itu, Hubungan antara kerajaan
Gowa-Tallo dan kesultanan Banten telah terjalin, riwayat mengisahkan bahwa
Syekh Yusuf pernah tinggal di Banten untuk beberapa lama dan menjalankan dakwah
Islam sebelum ke Mekkah untuk melaksanakan haji dan memperdalam ilmu agama.
Adanya hubungan inilah yang
memudahkan orang-orang Makassar datang kesana. Laskar lain yang bertolak ke
Jawa adalah armada yang dipimpin oleh Karaeng Galesong, nama aslinya I
Manindori Kare Tojeng, putra Sultan Hasanuddin dari istri keempatnya, ia lahir
pada tanggal 29 Maret 1655
Sebelum hadir di Jawa (timur),
Karaeng Galesong sebelumnya berada di Bima, sesuai dengan catatan Belanda, Dia
melakukan berbagai penjarahan disana.
Tokoh yang satu ini memegang peranan
penting dalam perjuangan orang Makassar bertahan hidup dan melawan Belanda di
Jawa.
Kepergian Karaeng Galesong dari
Makassar karena adanya silang pendapat antara pihak kerajaan Gowa-Tallo yang
dipimpin oleh ayahnya Sendiri dan Speelman dari Pihak Belanda. I Manindori Kare
Tojeng yang awalnya diangkat sebagai Raja di Galesong tidak diakui oleh
Belanda, dan setelah perjanjian Bongaya, Speelman menunjuk Daeng Malewa sebagai
pemimpin disana, yang mendasari pengangkatan Daeng Malewa sebagai pemimpin di
daerah itu karena ayah, kakek dan moyangnya telah berkuasa disana sebelum Raja
Gowa.
Kondisi politik seperti ini dianggap
sebagai pendorong kepergian Karaeng Galesong meninggalkan daerahnya.
Karaeng Galesong membawa ratusan
armada (kapal), ikut dalam rombongnya, Karaeng Tallo yang meninggal di Bima
pada 16 Juni 1673.
Dalam hal jumlah armada atau
pasukan, terjadi banyak perbedaan, De Graff tidak menyebutkan Jumlah pasukan
perang yang bertolak dari Galesong ke Bima.
Keberadaan dan pemberontakan yang
dilakukan oleh Karaeng galesong di Bima, membuat Kompeni yang berkedudukan di
Batavia mengalihkan perhatiannya kesini. Sehingga Banten yang terancam akan
diserang oleh Belanda dapat bernafas.
Di Banten sendiri, aktifitas pasukan
Makassar mulai memberatkan Sultan, hingga akhirnya mereka digunakan sebagai
pekerja untuk membuat parit pertahanan.
Namun lama kelamaan, Banten yang
belum juga mendapatkan serangan dari Belanda, kebingungan sendiri bagaimana
mengurusi tamu-tamu mereka.
Hingga banyaknya pertikaian yang
terjadi antara orang Makassar dan Sultan, Laskar Makassar yang dipimpin Karaeng
Bonto Marannu meninggalkan daerah ini bertolak ke Timur.
Pada bulan September 1674, Karaeng
Bonto Marannu tiba di Jepara dan berniat untuk memohon izin untuk mendapatkan
tempat tinggal dan hidup dengan aman kepada Sunan (Susuhunan Amangkurat I),
namun saat bertemu dengan Sri Baginda, permohonan tersebut di tolak
mentah-mentah.
Respon penolakan dari Amangkutat I
ini berbeda dengan Putra Mahkotanya, Adipati Anom. Putra mahkota yang
sebelumnya telah berkomplot dengan Trunajaya untuk menjatuhkan Ayahnya dari
puncak kekuasaanya, malah memberikan tempat bagi Kareng Bonto Marannu dan 6000
pasukannya di daerah timur Jawa.
Akhirnya, Karaeng Bonto Marannu
menetap di Demung (sekarang Besuki).
Laskar Makassar di Demung.
Dari Jepara, Kompeni mendapatkan
informasi pada tangga 15 September 1674, bahwa Karaeng Galesong merencanakan
serangan kedua untuk Bima.
Kompeni yang telah memfokuskan
perhatiannya pada gerak-gerik pasukan Makassar di Bima, dari berbagai informasi
yang mereka dapat, Orang-orang Makassar berencana merebut Bima, Karaeng
Galesong akan menjadi Raja di Bima, sementara menantunya (?) akan menjadi Raja
di Dompu, adapun Karaeng Bonto Marannu akan menjadi kepala pemerintahan dari
dua kerajaan itu.
Namun ketakutan Kompeni ini tidak
terbukti, pada bulan April 1674, Karaeng Galesong telah berada di Jawa Timur.
Pihak kompeni baru mengetahui hal
ini di akhir tahun 1675. De Graff dalam bukunya seperti kebingungan dengan
penulisan tanggal sehingga ada peristiwa yang sulit untuk dirunutkan. Misalnya
soal kedatangan Karaeng Galesong ke Jawa Timur dan pengiriman satuan oleh
kompeni ke Bima untuk menghukum orang-orang Makassar disana. Atau data
kedatangan karaeng Galesong ke Jawa Timur yang menyebutkan akhir tahun 1675,
padahal karaeng Galesong telah berperang menaklukkan Gersik di tahun 1675.
Pada tanggal 30 April 1675, sepucuk
surat dari Jepara menyebutkan peperangan Karaeng Galesong untuk merebut Gersik
dan Surabaya. Karaeng Galesong dan Trunajaya.
Pertemuan pertama antara Karaeng
Galesong dan Trunajaya terjadi dalam tahun 1675.
Saat itu Trunajaya mendatangi
Karaeng Galesong untuk membantunya meruntuhkan kekuasaan Mataram.
Untuk menjalin hubungan yang lebih
erat, Trunajaya memberikan kemanakannya untuk menjadi istri Karaeng Galesong
dengan syarat agar ia merebut Surabaya dan Gersik.
Pernikahan ini diperkirakan terjadi
tahun 1675 atau 1676, anak pertama karaeng Galesong yang lahir di bulan Januari
1677 memungkinkan pernikahan mereka terjadi pada akhir tahun 1675. Dengan
semakin kuatnya pangkalan di Demung dan adanya bantuan dari Madura,
pangkalan-pangkalan penting di Jawa Timur berhasil direbut: Pasuruan,
Pajarakan, Gombong, dan Gerongan.
Peperangan merebut keempat pelabuhan
tersebut berlangsung sengit, Karaeng Mamar (Mamut?) tewas dibunuh oleh putra
kiyai Darmayuda saat berusaha mempertahankan Pasuruan.
Setelah berhasil merebut keempat
pelabuhan ini, pasukan Makassar merencanakan menyerang daerah Utara dan Barat
Surabaya.
Daerah yang diserang pertama kali
adalah Gersik, berbeda dengan hasil peperangan pertama merebut daerah ini,
laskar Makassar berhasil merebut dan membakarnya, disebutkan para panglima
perang yang turut serta menghantam Gersik: Karaeng Galesong, Karaeng Bonto
Marannu, Karaeng Panarangan, Daeng Mammangung, Daeng Manggappa, Daeng Lomo
Tibon. Setelah Gersik, Surabaya juga berhasil mereka bakar.
Peperangan merebut Surabaya lebih
mudah dikarenakan banyaknya orang yang sudah melarikan diri setelah mendengar
kabar bahwa gersik telah jatuh ke tangan orang-orang Makassar.
Akibat yang timbul dari
kemenangan-kemenangan pasukan Makassar ini terasa hingga ke Jepara, orang-orang
kebingungan dan banyak orang yang mulai mengemas harta benda mereka. Jawa dan
Belanda Melawan Pasukan Makassar.
Informasi bahwa armada Belanda yang
hendak membasmi kekuatan Makassar mulanya terdengar menggembirakan bagi
masyarakat Jawa. Namun banyak juga yang meragukan dan curiga atas hal ini.
Mereka berfikir bahwa bantuan dari
kompeni jelas mengharapkan kompensasi.
Namun, bantuan tersebut adalah
permintaan Sunan sediri melalui Wiraatmaka, kepala daerah Jepara yang akhirnya
digantikan oleh Ngabei Wangsadipa.
Di bulan April 1676, armada belanda
diiringi oleh pasukan Mataram berangkat menghadapi Pasukan Makassar, namun tak
banyak hasil yang diraihnya.
Pasukan Makassar malah berhasil
merebut Tuban dan Sidayu.
Hal ini membuat Sunan marah dan
menyuruh semua orang Belanda pergi dan membawa barangnya.
Kecurigaan terhadap bantuan Belanda
untuk Jawa semakin memanas, mereka menganggap bahwa jatuhnya Tuban dan Sidayu
akibat adanya persekongkolan antara Belanda dan Makassar. Di pertengahan bulan
April, para perwakilan Jawa datang dan meminta agar Loji Belanda dihancurkan,
mereka takut jangan sampai Belanda balik melukai mereka.
Namun setelah berbagai perundingan,
Couper yang mewakili pemerintah kompeni menegaskan bahwa iktikad mereka baik.
Panji Karsula
Sebanyak 1000 orang Numbakanyar dan
beberapa prajurit Panumping ikut serta pada ekspedisi Panji Karsula untuk
memberantas pemberontakan orang-orang Makassar.
Armada Mataram ini dikawal oleh 3
panglima perang yang handal,
1.
Anggajaya memimpin sayap kiri,
2.
Darmayuda sayap kanan, dan
3.
Panji Karsula sendiri memimpin di
tengah (jumlah pasukan 1000 orang menurut serat khanda).
Melalui Japan (Mojokerto), mereka
Tiba di Demung, disini 2000 orang Makassar berada di dalam benteng.
Saat pasukan Mataram sudah mulai
dekat, Karaeng Galesong membakar semangat pasukannya. Prajurit Makassar yang
pantang menyerah, melawan dengan gigih, mempertahankan benteng mereka dengan
komando Karaeng Galesong.
Setelah pertarungan hebat terjadi,
Karaeng Galesong menarik mundur pasukannya, masuk ke dalam hutan.
Sementara orang-orang mataram, tanpa
mengindahkan peringatan Panji Karsula, menjarah benteng habis-habisan dan
beristirahat seenaknya saja tanpa memperhatikan pertahanan. Malam hari, Karaeng
Galesong kembali membakar semangat tempur pasukannya, mereka menyerang prajurit
Mataram yang berkema di area terbuka.
Mereka mengamuk berteriak sambil
menebas batang tubuh orang mataram yang sedang lengah. Para pasukan mataram
kaget dan kocar-kacir, perkemahan mereka terbakar.
Panji Karsula berhasil lolos dan
kembali ke Japan, disana ia menderita sakit yang parah kemudian meninggal.
Darmayuda menyerah bersama banyak
bupati di daerah timur.
Ada beberapa perang lain terjadi
setelah tewasnya Panji Karsula.
Dikisahkan bahwa, armada Belanda
melakukan penyerangan ke Panarukan. Pasukan mataram dalam penyerangan itu
dipimpin oleh Raden Prawirataruna, mereka turun ke darat dan disambut dengan
ganas oleh pasukan Makasaar yang telah berjaga-jaga, pertarungan sengit
terjadi, keluarga Raden Prawirataruna meninggal sementara dirinya terluka
parah.
Dari laut, orang-orang Belanda,
Ambon, dan Ternate menghujani pasukan Makassar dengan tembakan, banyak yang
tewas, sisanya mundur ke titik pertahanan mereka.
Pertempuran Laut Pertempulan
selanjutnya terjadi di Paiton.
Atas saran bupati Suramenggala,
pasukan mataram mendarat di Paiton, mereka meninggalkan kapal di pantai.
Mendengar keberadaan pasukan mataram
disini, prajurit Makassar segera berdatangan dengan perahu jukung kecil, dan
tanpa berlagak mencurigakan, membakar kapal-kapal mereka yang sandar, sementara
air laut sedang surut.
Pertarungan fisik terjadi di darat.
Orang-orang Jawa mempertahankan nyawa mereka dengan senjata seadanya, diantara
mereka banyak yang melarikan diri.
Sementara itu pemimpin pasukan,
Suramenggala dan Surawangsa tetap memberikan perlawanan yang gigih.
Kapal-kapal mancanegari segera
mendatangi perahu yang terbakar dan berusaha memadamkan api, mereka menampung
pasukan yang mulai tersedak oleh orang Makassar.
Diatas kapal, diadakan musyawarah
kecil dan diputuskan untuk kembali ke Jepara melalui Surabaya, mereka tidak
berani untuk kembali ke Mataram dengan kekalahan yang mereka alami. Karaeng
Galesong ke Madura
Begitulah peperangan demi peperangan
terjadi hingga Agustus 1676.
Di bulan ini, Karaeng Galesong
bertolak ke Madura dari Panarukan, walaupun dicegat oleh blokade Belanda de depan
Panarukan, dia berhasil lolos bersama 80 kapal lainnya.
Di Madura pada bulan Agustus 1676,
Trunojoyo mengumumkan bahwa namanya adalah raja atau Panembahan Maduretna.
Hampir bersamaan dengan itu, Karaeng
Galesong menggunakan gelar Adipati Anom.
Kedua kekuatan ini semakin besar,
mereka mulai membangun rencana untuk menghantam Mataram.
Catatan
Penulis:
Tulisan ini untuk membantu
mengetahui kisah Karaeng Galesong yang Mempertaruhkan kehidupan di Tanah Jawa,
ada beberapa referensi yang dapat dijadikan rujukan, namun untuk sementara ini
buku Runtuhnya Istana Mataram karangan H.J De Graf, yang menceritakan kisah
Karaeng Galesong lebih rinci dibandingkan beberapa referensi lain
Read more at: http://chengxplore.blogspot.com/2011/10/laskar-makassar-di-tanah-jawa.html
Copyright Ahmad Husain Under Common Share Alike Atribution
Read more at: http://chengxplore.blogspot.com/2011/10/laskar-makassar-di-tanah-jawa.html
Copyright Ahmad Husain Under Common Share Alike Atribution
Tidak ada komentar:
Posting Komentar